Monday, February 23, 2015

Cintai Pekerjaan Atau Tinggalkan (II) :
BEKERJA DAPAT MEMBUNUHMU!

“By going to work, we’re killing ourselves, literally!” –dengan bekerja, kita membunuh diri kita sendiri, dalam artian sebenarnya!
(Simon Sinek)

Judul di atas terbaca cukup provokatif bagi otak kita, bukan? Benarkah itu terjadi? Bagaimana bisa? Adalah Simon Sinek, seorang inspirator sukses berusia 41 tahun, yang merupakan penulis buku Start With Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action (2009) dan Leaders Eat Last: Why Some Teams Pull Together and Others Don’t (2014), yang sering mengungkapkan hal tersebut. Orang yang dianggap sebagai penemu konsep Diagram “Lingkaran Emas” Motivasi Manusia tersebut, hampir dalam setiap presentasinya mengungkapkan bahwa penelitian membuktikan bahwa dari orang tua pekerja yang biasa bekerja hingga larut malam, dampak negatif yang ditimbulkan terhadap anak-anak mereka hampir tidak ada sama sekali. Akan tetapi, atas orang tua yang melakoni sebuah pekerjaan yang tidak dicintainya, anak-anak mereka cenderung menjadi anak-anak yang nakal di sekolah. Masalah tidak terletak pada sekolah mereka, masalah juga tidak terletak pada cara orang tua mengasuh anak-anaknya, namun masalah sesungguhnya terletak pada pekerjaan yang dimiliki orang tua dari anak-anak itu. Itu baru satu contoh dampak buruk pekerjaan kita terhadap anak-anak kita, belum lagi dampak bagi diri kita sendiri.


BOSS YANG PAYAH MENGACUHKAN RASA AMAN

Jika kita pikirkan dan uraikan lebih dalam, akar dari penderitaan kita di tempat kerja bukanlah saklek pekerjaan kita semata. Masalah-masalah yang terjadi di tempat kerja sesungguhnya merupakan tanggung jawab orang yang dipercaya sebagai atasan kita, orang yang kita panggil sebagai “Boss”. Atasan yang baik akan membuat kita menaruh hormat kepadanya, bahkan terhadap seorang atasan yang baik kita takkan segan-segan untuk mengucurkan sedikit keringat demi melakukan sesuatu untuk dirinya. Kita merasa hormat dan sayang terhadap dirinya karena pengakuan tulus kita terhadap kualitas-kualitas positif serta kelebihan-kelebihan yang dimiliki olehnya. Mengapa demikian? Sebab di dalam lubuk hati yang terdalam kita percaya bahwa jika sesuatu yang buruk terjadi atas kita, orang yang kita hargai sebagai boss itu akan mengerahkan segala kelebihannya demi melindungi kita. Rasa percaya bahwa boss akan melindungi inilah yang menjadi dasar kita untuk selalu merasa aman ketika berada di bawah kepemimpinannya. Bukankah kita semua memahami salah satu ciri boss yang buruk adalah bahwa ketidakberadaannya di tempat tidak memberi pengaruh buruk apapun terhadap kita, bahkan ketidakberadaannya membuat kita bergembira-ria?

Lalu mengapa tidak semua atasan menciptakan rasa aman seperti ini? Sebab hal ini tidaklah gratis, selalu ada pengorbanan untuk menciptakannya. Pengorbanan ini mungkin berupa waktu untuk berinteraksi, tenaga untuk membantu bawahan atau peer, atau bahkan uang untuk membiayai sebuah kebersamaan yang sebenarnya bukan faktor yang tertinggi nilainya bagi pembentukan kepercayaan namun justru paling dikhawatirkan penurunan jumlahnya oleh boss-boss yang payah seperti ini. Boss yang baik akan bersedia untuk berkorban agar orang-orang di bawah kepemimpinannya dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya. Sebaliknya, boss yang buruk akan tega mengorbankan orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya demi memperoleh manfaat untuk dirinya sendiri.

Dalam kehidupan profesional, atasan kita senantiasa menuntut agar kita menjaga kesetiaan maupun penilaian pelanggan, menjadikan mereka pusat perhatian kita, akan tetapi terlepas dari tuntutan tersebut, tak jarang kita mendapati kenyataan pahit bahwa orang yang memerintah kita, atasan kita, tidak memberikan perhatian mereka kepada kita. Dalam hal seperti ini, organisasi atau institusi kita dikatakan telah kehilangan, meminjam istilah Simon Sinek, the circle of safety (lingkaran rasa aman). Kita kehilangan rasa aman dalam melaksanakan tugas-tugas kita, kita tidak merasakan adanya sejawat yang akan mendukung dan selalu siaga untuk mem-backup dan melindungi diri kita. Jika hal tersebut terjadi, kita akan bekerja sendiri-sendiri untuk mengejar target IKU (Indeks Kinerja Utama) organisasi, misalnya, atau target produksi pabrik, target penjualan perusahaan, atau target-target lainnya, dan kita tidak lagi memiliki perhatian terhadap apa yang dilakukan oleh masing-masing individu dalam tim, kita tidak lagi membatu satu sama lain, padahal saling membantu merupakan bagian terpenting dalam kehidupan profesional. Ketika hal ini tidak terjadi maka dampak bagi kita adalah bahwa kita tidak lagi mendapatkan manfaat dari tugas-tugas yang kita lakukan. Ketika kita diharuskan untuk fokus kepada uraian tugas masing-masing maka kita pun secara tidak sadar akan terjauhkan satu sama lain, dampaknya adalah bahwa kita akan mengalami kesendirian, merasakan kesepian batin. Hal ini pada gilirannya menjadi tekanan untuk kita yang bekerja karena bertentangan dengan kodrat kita sebagai makhluk sosial.


KORTISOL, SI PENIKAM DALAM LIPATAN

Jika ada agen pembunuh yang mampu membunuh kita karena pekerjaan, ia tak lain adalah cortisol. Hormon yang ngeri-ngeri sedap ini adalah hormon yang terbentuk secara melimpah ketika kita merasa tertekan atau merasa cemas. Hormon ini adalah alarm yang menjaga kita tetap hidup, juga menjalankan fungsi-fungsi metabolisme penting lainnya di dalam tubuh. Namun, dalam jumlah yang berlebihan ia juga membuat kita merasa tidak karuan, galau, gila! Karena karakteristiknya yang demikian maka hormon ini tidak seharusnya terus berdiam secara melimpah di dalam sistem tubuh kita, seharusnya ia timbul bak air bah seketika diperlukan dan lekas surut kembali (fight-and-flight mechanism). Sayangnya, kehidupan profesional dewasa ini menghalangi hormon kortisol untuk datang dan pergi dengan mekanisme seperti itu. Ketika kita bekerja tanpa lingkaran keamanan sebagaimana disinggung di atas maka kita akan merasa galau dari hari ke hari, mengalami tekanan batin setiap saat, selalu tegang, dan akhirnya gila! Bisa dibayangkan ketika kita pulang ke rumah dalam keadaan masih tertekan seperti ini? Rumah dan seisinya bisa jadi akan menjadi sasaran empuk dari tekanan yang terus menumpuk di punggung dan kepala kita. Rumah pun menjadi seperti neraka, tidak lagi menjadi yang seharusnya; syurga yang menyejukkan kita. Anak-anak pun menjadi korbannya.

Doktor Shawn Talbott dalam bukunya The Cortisol Connection (2002) mengemukaan beberapa kondisi negatif yang dapat terjadi ketika tubuh seseorang memproduksi kortisol secara berlebihan dalam jangka panjang. Ia mengungkapkan bahwa berbagai penelitian ilmiah dan bukti-bukti medis memperlihatkan dengan jelas bahwa tingkat kortisol yang tinggi dalam tubuh secara berkesinambungan akan memicu stress kronis yang sulit reda, serta menciptakan efek yang melemahkan kesehatan dalam jangka panjang. Efek yang melemahkan ini dapat kita anggap sebagai anti-imun atau penurun kekebalan tubuh, bukan? Ia juga menambahkan bahwa di antara sekian banyak pengaruh negatif kortisol berlebih ini adalah meningkatnya selera makan dan hasrat untuk melahap jenis makanan-makanan tertentu. Mengingat salah satu peran utama kortisol adalah mendorong tubuh untuk mengisi kembali bahan bakarnya setelah menghalau hadirnya penyebab stress, tingkat kortisol yang telah tinggi membuat nafsu makan kita terdongkrak —makanya kita merasa lapar terus-menerus.

Selain itu, jenis lemak yang terakumulasi sebagai akibat nafsu makan tinggi karena ditunggangi stress biasanya akan menempati daerah perut, mungkin supaya mudah tersedia ketika diperlukan untuk merespon stress berikutnya. Masalah terbesar dengan lemak perut ini, terlepas dari fakta bahwa tidak ada orang yang suka berperut buncit, adalah jenis lemak ini sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan sakit jantung, penyakit kencing manis, serta kanker. Kalau tempat kerja kita sudah kondusif untuk menciptakan risiko penyakit seperti ini, masih haruskah kita pertahankan? Jika Anda tak mampu mencintai tempat kerja Anda yang penuh tekanan, masih adakah alasan bagi Anda untuk bertahan? Tinggalkanlah, atau Anda akan mati karenanya baik secara cepat, maupun pelan-pelan!

[Jika masih ada waktu, pada kesempatan mendatang in syaa Allah penulis akan mengungkapkan langkah-langkah untuk mengatasi kortisol ini, juga membahas kawan-kawannya yang lain masih dalam konteks leadership]

* http://contextualfeed.com illustrates


1 comment:

Espie Laurel said...

Mari, Syeikh.... kita budayakan ngopi untuk generasi dan dunia yang lebih baik... :-)

Putri, Berkah Untuk Semua

Belum reda euforia atas kemenangan Tim Nasional Sepakbola kita di ajang SEA Games XXXII Cambodia, kini bangsa Indonesia kembali dibuat bangg...