Beberapa tahun silam, saya menjadi bagian
dari kepanitiaan seleksi beasiswa untuk para pegawai instansi tempat
saya bekerja. Ada satu pertanyaan menarik pada sesi wawancara yang
disodorkan oleh para interviewer kepada para calon penerima beasiswa dimaksud. “Bagaimana pendapat Anda tentang para pegawai yang pindah ke instansi lain setelah menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi?”, kurang lebih demikian isi pertanyaan tersebut.
Pertanyaan di atas didasari kenyataan atas kenaikan trend
perpindahan pegawai ke instansi lain, terutama para pegawai yang baru
menyelesaikan pendidikan, khususnya melalui program beasiswa. Pertanyaan
ini melahirkan jawaban-jawaban kontroversial, dan dari sekian puluh
calon penerima beasiswa, hanya satu jawaban seorang calon yang dianggap
paling memuaskan. Jawaban awal mereka kebanyakan adalah, “Menurut saya sah-sah saja, itu hak mereka…”.
Ya, apapun tindakan mereka memang sah-sah saja, tentang pilihan dalam
hidup. Tapi yang diminta bukan sekadar jawaban, namun respons, dan hal
itu mendorong jawaban berikutnya yang tidak konsisten, respons yang
jelas tidak menguntungkan untuk mereka sendiri.
KSATRIA KURAWA
Salah satu konflik terbesar dalam kisah Mahabharata yang telah di-getoktular-kan dari generasi ke generasi selama berabad-abad itu adalah konflik seorang Adhipati Karna. Karna atau Basukarna, raja Awangga, negara kecil di bawah kekuasaan Astina, sejatinya adalah kakak dari Pandawa Bros (Pandawa bersaudara), namun ia menjadi tulang punggung Kurawa. Bagi Yudhistira, Bima, dan Arjuna, Karna adalah kakak kandung satu ibu (Dewi Kunthi), sedangkan Nakula dan Sadewa adalah adik-adik satu Bapak (Sri Pandhu) dari ibu Dewi Madrim. Karna adalah anak dari “suami” Kunthi pertama yaitu Bathara Surya, makna harfiahnya Dewa (Penjaga) Matahari, dan dilahirkan melalui telinga sang Dewi.
Mendapati kenyataan pahit akan
meletusnya perang dahsyat antara dua kekuatan besar yang notabene adalah
keluarga, dengan berbagai cara Kunthi berusaha mendamaikan anak-anaknya
di pihak Pandawa dan Karna yang berada di pihak Kurawa. Dengan
berlinang air mata, Kunthi membujuk putera-puteranya. Ia berusaha
menyadarkan Karna bahwa yang akan dihadapinya adalah adik-adiknya
sendiri. Memang sangat dilematis dan menguras emosi, dan pergumulan
bathin pun menyelimuti diri Karna. Baginya sifat ksatria adalah membela negaranya, membela orang-orang yang pernah menyelamatkan diri dan harga dirinya. Ia
dibesarkan oleh keluarga sais/kusir sederhana bangsa Kurawa, ia menjadi
raja di wilayah Kurawa karena diangkat oleh keluarga Kurawa, dan
derajatnya sebagai anak pungut keluarga sederhana pun kemudian naik
karena Kurawa. Namun bagaimanapun keluarga juga tetap keluarga, tidak
pernah ada istilah bekas keluarga… Hujan tangis menghiasi pertemuan ibu-anak yang telah berpisah sekian lama. Keputusan
Karna bulat dan akan sulit dimengerti dan diterima oleh banyak pihak.
Pembelaannya akan tetap ia berikan kepada pihak Kurawa. Bhaktinya ia
serahkan kepada keluarga yang oleh khalayak ramai dinyatakan sebagai
pihak antagonis itu.
PILIHAN SULIT
Selain Ibunda Kunthi, Sri Kresna dan Bisma juga berusaha mendamaikan Pandawa dan Karna dengan caranya masing-masing. Banyak
sifat tokoh yang sangat kontroversial muncul dalam kisah perang
Mahabharata, semua itu terjadi karena mereka memiliki derajat
kepribadian yang teramat tinggi. Misalnya dua tokoh pendamai
tersebut. Kresna, memutuskan Pihak Pandawa dan Kurawa memilih dirinya,
atau pasukannya sebagai sekutu. Kurawa memilih pasukan Kresna yang
jumlahnya cukup besar, sedangkan Pandawa memilih Kresna sebagai
penasihat militer dan spiritual. Dalam perang itu, Kresna maju sebagai
sais kereta perang Arjuna, tanpa senjata. Sedangkan Bisma selaku
Panglima Perang Kurawa, terlepas dari perbedaan versi cerita, meskipun
satu pasukan dengan Karna (kelak akan menggantikan Bisma sebagai
Komandan Lapangan setelah Bisma jatuh) namun tak menginginkan Karna ikut
memerangi Pandawa, ia sendiripun demikian. Begitu juga ketika ia
bertemu dengan divisi pasukan yang dipimpin oleh Srikandi, Bisma menghindar, menolak bertempur karena aturan perang tidak mengizinkan pembunuhan terhadap wanita.
GUGURNYA PARA KSATRIA
Pertempuran besar yang menurut
penelitian beberapa orang ahli benar terjadi sekitar tahun 1000 hingga
5000 sebelum masehi itupun pecah selama 18 hari. Dalam perang yang
berlangsung di darat dan udara itu banyak ksatria utama dari kedua belah
pihak gugur satu-persatu. Konon, di hari kesepuluh pertempuran, Bisma
sang Komandan Lapangan Kurawa jatuh dihujani anak panah Arjuna dan
pasukannya karena menghindari pertempuran dengan Srikandi. Meski tumbang, tubuhnya tidak menyentuh tanah karena ditopang berpuluh anak panah. Ia masih hidup beberapa hari kemudian untuk menyaksikan kekalahan Kurawa.
Adhipati Karna sendiri konon gugur pada hari ke-17 di ujung panah Pasopati milik
Arjuna, adik kandungnya sendiri. Ia sebenarnya telah mengalahkan 4
orang Pandawa yang lain, namun sesuai janjinya kepada ibunda Kunthi, ia
tidak membunuh mereka. Pertarungan melawan Arjuna pun beberapa kali
terjadi, namun hasil akhir tertunda karena matahari terbenam dan
pertempuran hari itu harus berakhir. Sebelum berangkat ke medan laga, ia
meninggalkan sepucuk surat perpisahan untuk istrinya, Surtikanthi. “Jangan
engkau bersedih. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia kita yang
telah dinubuat ini, Istriku, seseorang hanya mendapatkan dirinya tak
jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan! Sebab itu, Istriku,
aku harus membuktikan bahwa seseorang ada, seseorang menjadi, karena
tindakannya, karena pilihannya – bukan karena ia telah selesai
dirumuskan”, demikian salah satu penggalan isi suratnya.
Menurut sebuah versi, kematian Karna memang sangat elegan. Hari itu ia berangkat ke medan laga padang Kurusetra dengan mengenakan pakaian serba putih,
seperti bersiap menjemput kematian. Begitu banyak ksatria yang telah
gugur, dan kini gilirannya untuk menghadapi Arjuna. Karna dan Arjuna
sama-sama jawara panah, keduanya pernah mendapat ilmu dari guru yang
sama dengan cara yang berbeda. Namun kini panah sakti Kuntho miliknya
telah lebur dalam jenazah Gatotkaca, ia menggunakan panah lain
Nagasatra. Di samping semua kutukan dari orang-orang suci, Karna
memutuskan untuk tidak membunuh adiknya sendiri, lebih baik ia yang
gugur.
SEORANG KSATRIA
Yang ditunjukkan oleh Karna adalah rasa
terima kasih, rasa syukur, yang menurutnya demikianlah sifat ksatria.
Begitu berartinya makna sebuah pemberian dari orang lain sehingga
bagaimanapun caranya harus selalu dibela. Ia dibuang oleh ibunya begitu
ia lahir, mengalami berbagai penderitaan hidup sebagai rakyat jelata,
menerima berbagai penolakan dari para bangsawan bahkan wanita pujaan,
dan pelecehan harga diri karena ia hanya anak seorang sais. Karna memang
kontroversial. Ia adalah seorang yang “punya gengsi”, namun juga
bersumpah akan selalu menjadi orang yang dermawan. Apapun yang diminta
orang yang tak berpunya, akan selalu ia berikan, bahkan tatkala harus
menyayat kulitnya untuk melepas baju perang.
Sebagai tokoh yang digembleng oleh
pahitnya kehidupan, ia adalah seorang yang kuat menahan rasa sakit.
Suatu hari ketika ia sedang berguru, Parasurama gurunya tidur di atas
pangkuan. Tiba-tiba muncul serangga menggigiti paha Karna. Demi
menjaga agar gurunya tidak terbangun, dibiarkan pahanya terluka agar
dirinya tidak bergerak sedikit pun. Ketika Parasurama bangun dari tidur,
ia terkejut melihat Karna berlumuran darah. Kemampuan Karna menahan
rasa sakit telah menyadarkan Parasurama bahwa muridnya itu ternyata
bukan dari golongan brahmana, melainkan seorang ksatriai, yang jelas
tidak ia sukai. Karnapun diusir dan dikutuk!
Ia gugur di medan perang sebagai seorang
ksatria yang dikagumi banyak pihak. Ia adalah tokoh dengan kepribadian
yang kompleks, namun pada dasarnya berhati lembut dan tulus. “Rasanya
akulah salah satu batu gunung itu, Surtikanthi, yang menerbitkan
perciknya sendiri. Inilah kemerdekaanku. Arjuna memilih pihaknya karena
darah yang mengalir di tubuhnya, aku memilih pihakku karena kehendakku
sendiri. Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku
berperang bukan untuk memperoleh. Maka, jika aku esok mati, istriku,
kenanglah kebahagiaan itu. Satu-satunya kesedihanku ialah bahwa aku tak
akan lagi bisa memandangmu, ketika kau memandangku…”
SEKADAR PENGINGAT
Negara ini tidak sekadar membutuhkan
orang-orang yang pintar, namun juga orang-orang yang benar. Orang yang
sekadar pintar hanya akan melahirkan jiwa-jiwa penghasut seperti
ditunjukkan oleh Patih Shakuni (Sengkuni). Kemerdekaan sejati
adalah hilangnya rasa takut dalam diri terhadap suatu apapun, kecuali
kepada Sang Khalik. Jadikan puasa ini ajang untuk mengasah kepekaan
bathin tentang penderitaan orang-orang yang “kurang beruntung” di
sekitar kita. Rasa syukur dan terima kasih adalah sebuah wujud sifat
ksatria. Berterima kasihlah kepada sesama, dan bersyukurlah kepada Sang
Kuasa yang telah memberikan berbagai anugerah yang takkan mungkin dapat
kita hitung kuantitas dan kualitasnya. Semoga kita mampu mencapai
derajat takwa. Amiin… Selamat menyambut bulan suci Ramadhan! [SP]