Saturday, December 18, 2021

Religious Hiccups : Ketika Agama Dijadikan Kedok Penipuan Paling Efektif

Adakalanya tanpa sadar kita menyemangati kejahatan, yaitu dengan mempercayai orang-orang yang salah. Semua dapat terjadi hanya karena kita tidak berlapang dada untuk menerima perspektif orang lain yang jujur. Bisa juga karena kita kehausan derajat tinggi di antara manusia, tanpa mengingat bahwa derajat di langit lebih patut dikejar dan dipertahankan.    


Kasus-kasus kejahatan yang menggunakan agama sebagai medium saat ini kembali marak. Sungguh mengundang keprihatinan kita sebagai insan beragama, betapa pegangan hidup yang mulia dikemas sedemikian rupa sehingga orang-orang terpedaya dan satu demi satu menjadi korban. Mengapa agama begitu mudah dijadikan tameng, dijadikan kedok untuk menipu? Kekosongan spiritual yang membutuhkan langkah pengisian merupakan alasan pertama. Di jaman yang materialistik ini sebagian orang lupa (atau melupakan) dimensi lain dari hidup, sisi spiritual. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Martin Luther King Jr dalam sebuah khutbah pada lebih setengah abad lalu, terdapat 3 dimensi yang membuat hidup seseorang menjadi lengkap, salah satunya adalah dimensi spiritual. Tanpa mengisi ketiga dimensi ini maka hidup manusia akan kosong, takkan pernah lengkap.

Sebab kedua, kedalaman agama setiap orang tidak dapat diuji secara empiris, bahkan tidak terdapat lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji ataupun membuktikannya. Pada prinsipnya, agama adalah urusan manusia dengan Tuhan. Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala sisi dari makhluk-makhluk-Nya, termasuk sisi mental spiritual. Ketika secara empiris seseorang nampak memiliki kedalaman beragama, secara kasat mata terlihat menjalankan perintah-perintah agama dengan teguh, orang-orang di sekitar dengan naif akan menganggap bahwa orang tersebut "tidak kosong", dianggap memiliki kemampuan yang memadai untuk menghubungkan dirinya dan bahkan orang-orang lain dengan Tuhan. Mereka terjebak dalam paradigma pemahaman tersebut, sehingga ketika  "si pelaku" mendekat ia akan menerima dengan rasa hormat dan segenap kepatuhan. Ia menganggap dirinya kalah secara spiritual dan seperti kerbau yang dicucuk hidung ia akan tunduk pada segala kemauan si penjahat. Sangat ironis.

Leluhur Jawa sudah mewanti-wanti, "ojo kagetan, ojo gumunan", jangan gampang kaget, jangan lekas takjub. Rupanya pengingat ini mengajak orang-orang untuk menghindari kenaifan, untuk selalu waspada pada segala potensi buruk yang mungkin timbul akibat pemahaman yang dangkal akan seseorang atau suatu fenomena. Kenapa mesti takjub, kenapa mesti kaget, sedangkan setiap orang hadir ke dunia ini dilengkapi dengan potensi yang sama? Kecenderungan ini terjadi di mana-mana, dalam kehidupan sosial, maupun dalam kehidupan profesional. Dunia memang telah berubah, hidup kita tak lagi sederhana. Persaingan dalam bidang apapun terjadi, apatah lagi dalam kehidupan profesional. 

Orang-orang mulai akrab dengan frasa "personal branding", yang sebelumnya hanya dikenal dan dipraktikkan dalam dunia pemasaran. Dari sini orang mulai menggelar rangkaian kegiatan pemasaran untuk dirinya. Mereka melakukan "signalling" atau menjual untuk mendapatkan perhatian orang dan "flexing" atau pamer untuk memperoleh kepercayaan. Yang dituju adalah penilaian orang, penilaian yang akan membawa keuntungan untuk pribadi mereka. Dalam tataran yang lebih dalam namun sembrono, mereka bahkan tega menjatuhkan harga diri orang dan meniadakan kebaikan maupun keunggulan orang atau pihak lain yang dianggap menjadi pesaing atau akan menjadi penjegal langkahnya. Pada satu titik, hanya mata batin yang mampu melihat hal-hal seperti ini.  

Fenomena penipuan dengan kedok agama bukan monopoli orang-orang dari satu agama tertentu. Jika kita berniat menelusuri sejarah, sudah banyak orang dari berbagai agama yang memanfaatkan inteligensi mereka untuk keunggulan pribadi. Keunggulan itu dapat berupa akses ke dalam suatu kelompok atau fasilitas tertentu, nama besar atau popularitas di kalangan kelompok atau masyarakat luas, keberlimpahan harta, dan sebagainya yang bersifat duniawi. Keinginan atas berbagai keunggulan itu tentu suatu hal yang wajar. Namun, sisi buruk hal ini adalah hilangnya kemerdekaan orang lain (biasanya dialami oleh para pengikut), hilangnya keadilan bagi pihak lain (biasanya dialami oleh pihak yang setara atau "pesaing"), bias dalam penilaian terhadap pribadi, dan hal-hal buruk lain yang membuat bumi ini tampak sebagai tempat yang tidak layak ditinggali.

Namun dari semua pengaruh terburuk dimaksud, hal yang terburuk dari yang terburuk adalah tercorengnya kemuliaan agama dari kelompok dimaksud ketika pada akhirnya kedok terbongkar. Marwah agama dan Tuhan dipertaruhkan akibat ketiadaan ikhlas dari orang-orang yang mementingkan kemuliaan diri dan kebesaran nama pribadi. Allahu a'lam.

Putri, Berkah Untuk Semua

Belum reda euforia atas kemenangan Tim Nasional Sepakbola kita di ajang SEA Games XXXII Cambodia, kini bangsa Indonesia kembali dibuat bangg...