Sunday, January 15, 2023

CINTA TAK BERSYARAT, MUNGKINKAH?

Lama meragukan apakah cinta sejati, cinta tak bersyarat, memang wujud di dunia fana. Lama mencari jawaban, apakah benar-benar ada makhluk yang mampu berikan cinta tak bersyarat. Apakah ia hanya dapat dijumpai pada seorang ibu terhadap anaknya? Setelah diberi kesempatan berjumpa dan mendengarkan Ustadz KH Syatori Abdul Rauf, alhamdulillah sedikit banyak mampu menjawab soalan-soalan ini. Meskipun tak seberapa lama, namun paparan beliau memberikan perspektif lain mengenai cinta.

Jika tak mendengar langsung dari beliau, sebagian besar dari kita akan mengalami kesulitan untuk mencerna pengajaran ini. Dengan alur presentasi yang sangat baik beliau mampu memberikan pemahaman mengenai ilmu/basyar dan basyiroh kepada audiens yang hadir. Mengikuti paparan beliau seperti mengikuti kembali paparan Buya HAMKA di masa lalu. Sedikit tulisan berikut ini adalah hal-hal penting yang dapat penulis tangkap dari paparan Ustadz KH Syatori Abdul Rauf selama sekitar 1 jam beberapa saat lalu.


- Untuk bisa sabar, butuh keadaan yang bisa membuat tidak sabar. Tahu Saja Tidak Cukup (Ilmu), Kita Perlu Rasa (Basyiroh);

- Kualitas kejernihan hati kita yang menurun terjadi akibat kita berfokus pada cita rasa, bukan pada rasa. Jika fokus kita pada rasa maka keadaan baik maupun buruk, positif maupun negatif, akan terasa sama saja di mata dan hati kita;

- Basyiroh sebenarnya pantulan cahaya ilmu yang masuk ke dalam qalbun salim. Cahaya Ilmu dan Cahaya Basyiroh hakikatnya satu paket; ilmu menjadi sia-sia tanpa basyiroh;

- Jika diibaratkan hati adalah cermin maka basyiroh adalah cahaya yang dipantulkan. Kemampuan memantulkan kembali cahaya tergantung pada kejernihan cermin tersebut;

- Tingkat kejernihan hati : Qalbun salim (hati yang damai -tingkat tertinggi), qalbun shahih (hati yang baik), qalbun rayb (hati yang ragu), qalbun maridh (hati yang sakit), qalbun mayyt (hati yang mati).


Lalu di manakah letak hubungan antara paparan "ilmu dan basyiroh" dengan cinta sejati ini? Ustadz KH Syatori Abdul Rauf dalam kajian-kajian beliau kerap kali membagi perilaku kita dalam kapasitas sebagai "manusia (biasa)" dan sebagai "hamba Allah". Sebagaimana kita maklumi bersama, peran sebagai hamba Allah adalah tugas setiap manusia dan jin yang telah diciptakan dan diturunkan ke alam fana ini. Ketika kita menjalankan peran sebagai hamba Allah maka kita tidak lagi berpikir tentang "cita rasa". Kita hanya akan mendapati "rasa" dan menerimanya sebagai sesuatu yang datang dari Allah. Sederhananya begini; kita mendapati Kecap merk "X" dan Kecap merk "Y". Dalam situasi demikian kita tidak memikirkan lagi "favorit saya adalah kecap merk "X"! Tidak, kita tidak membandingkan "X" dan "Y", kita hanya melihat "Kecap", keduanya terbuat dari kedelai dengan tekstur yang kurang lebih sama. Demikianlah basyiroh.

Dengan melihat "Kecap" dan bukan merk "X" atau "Y", kita telah melangkah untuk lebih berfokus pada "rasa" dan bukan "cita rasa". Dengan kata lain, "favorit" ataupun "bukan favorit" tidak menjadi masalah. Oleh karena itu, mendapati kecap merk "X" maupun kecap merk "Y" bagi kita sama saja. Demikianlah keadaan qalbun salim (hati yang damai, hati yang selamat), tatkala ujian atau karunia, susah ataupun senang, adalah hal yang sama-sama datang dari Allah dan kita terima dengan baik sebagai bentuk rahmat (kasih sayang) dari Allah. Sedangkan kita tidak pernah mengetahui perhatian apa lagi yang disiapkan Allah untuk kita pada saat berikutnya.

Qalbun salim tidak pernah berhitung untung dan rugi, qalbun salim tidak pernah menilai perbuatan baik kita apakah diterima dengan baik atau sia-sia. Yang ada hanyalah perhitungan apakah Allah meridhai amal kita, apakah Allah menerima ibadah kita dengan "senyum". Oleh karena itu, amal baik kita harus dipandang sebagai karunia, sebagai rahmat Allah berupa kesempatan bagi kita untuk berbuat baik. Dengan demikian apa yang kita berikan untuk makhluk lain adalah bentuk balasan dari karunia yang kita terima. Apakah sebuah balasan patut ditunggu balasannya lagi? Hanya qalbun salim yang mampu memberikan cinta sejati, cinta tak bersyarat.

Maka dari itu, mari berbuat baik, dan jangan pernah berharap balasan apapun kecuali dari Allah. Beribadahlah, dan jangan sekali-kali berharap mendapat ganjaran, karena setiap amal hakikatnya adalah balasan, dan yang kita cari dari setiap amal adalah semata-mata ridha Allah. Ridha-Nya pula yang akan menentukan apakah kita patut ditempatkan di syurga atau sebaliknya. Jika ridha yang memungkinkan kita masuk syurga maka bukankah berarti kedudukan ridha ini di atas syurga itu sendiri? Ini yang harus kita raih. Allahu a'lam bi muradhihi bi dzalik.

No comments:

Putri, Berkah Untuk Semua

Belum reda euforia atas kemenangan Tim Nasional Sepakbola kita di ajang SEA Games XXXII Cambodia, kini bangsa Indonesia kembali dibuat bangg...