Informasi yang tersedia menyebutkan bahwa pengembangan satelit Satria oleh Pemerintah melalui Kementerian Kominfo ini dilaksanakan menggunakan skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha). Konsorsium Pasifik Satelit Nusantara (PSN) yang terdiri dari PT Pintar Nusantara Sejahtera, PT Pasifik Satelit Nusantara, PT Dian Semesta Sentosa, dan PT Nusantara Satelit Sejahtera merupakan pemenang tender pengembangan satelit ini, dan konstruksinya dilakukan oleh pabrikan asal Prancis bernama Thales Alenia Space dengan perkiraan biaya sekitar US$545 juta.
Selaku pribadi, penulis berharap bahwa peningkatan teknologi apapun yang dikemas ke dalam satelit ini, akan membawa efisiensi baik bagi Pemerintah, para pemangku kepentingan, maupun para pengguna layanan yaitu masyarakat luas. Biaya penggunaan teknologi khususnya jaringan nirkabel di tanah air masih terasa mahal. Sebagai pengguna jasa telekomunikasi nirkabel, grafik biaya yang dikeluarkan menunjukkan peningkatan pada beberapa tahun terakhir. Jika tren ini tidak berubah maka peningkatan biaya ini bisa jadi akan mengembalikan biaya penggunaan jasa telekomunikasi ke titik awal.
Bagi
Indonesia, akhir milenium kedua merupakan titik awal pertumbuhan teknologi
nirkabel dengan kepemilikan handset yang mulai meluas di seluruh tanah air. Ponsel
menggantikan teknologi populer sebelumnya yaitu penyeranta (pager) yang mungkin
merupakan teknologi dengan umur terpendek di Indonesia. Tahun 1999 – 2001 booming
penjualan telefon seluler menyebar ke seluruh tanah air. Meskipun penulis sudah
memanfaatkan fasilitas ponsel Ericsson di pertengahan 1990-an dengan kartu SIM seukuran
kartu kredit dan penggunaan ponsel Nokia generasi awal dengan kartu seukuran
jempol, namun penulis baru membeli ponsel pertama dengan penghasilan pribadi pada
2001 (di Kalimantan Timur) dengan pilihan merk yang jatuh ke Siemens seharga
Rp1,5 juta dan kartu SIM (perdana) seharga Rp750 ribu. Ponsel monofonik ini baru
mampu melaksanakan fungsi telefoni, SMS (Short Message Service), dan MMS
(Multimedia Message Service). Dengan kemampuan tersebut, biaya langganan
(pulsa) bulanan rata-rata yang harus dibayar ke operator seluler adalah sebesar
Rp600 ribu. Jadi cukup mahal, bukan?
Tahun
berikutnya penulis beralih ke ponsel pintar dari pabrikan yang sama dengan kemampuan
mengakses internet melalui teknologi GPRS (General Packet Radio Service).
Dengan ponsel ini selancar jejaring mulai dapat dilakukan termasuk dengan
pemanfaatan ponsel ini sebagai modem khususnya untuk laptop. Bagaimana dengan biaya
yang dikeluarkan? Kurang lebih sama dengan penggunaan jaringan kabel (cable
modem) untuk internet, mencapai jutaan rupiah untuk satu bulan. Dapat dikatakan
masih sangat mahal, atau terasa sama dengan pengenaan biaya untuk percakapan
jarak jauh. Penggunaan fiber optik pada periode berikutnya relatif memangkas
biaya, dan operator mulai lebih kreatif dalam memasarkan jasa.
Ada
kecenderungan peningkatan biaya layanan dengan adanya peningkatan teknologi
pengiriman sinyal atau, jika keadaan sesungguhnya memang tidak demikian,
meningkatkan nilai pengeluaran para pengguna layanan. Contohnya adalah
peralihan dari teknologi pengiriman sinyal generasi pertama ke generasi 2 di
atas, atau peralihan berikutnya dari 2G ke 3G. Bisa jadi dengan peningkatan
teknologi maka pengguna layanan merasa lebih nyaman berselancar sehingga menghabiskan
lebih banyak waktu dan akhirnya berdampak ke biaya. Kendatipun demikian, kita
dapat melihat bahwa setelah layanan internet dijual dengan kemasan paket data, harga
paket internet terus meningkat dari masa ke masa. Sama halnya dengan harga
komoditas lainnya, harga paket internet juga mengikuti laju inflasi. Bisakah
harga penggunaan jasa ini diturunkan dengan peningkatan teknologi pengiriman
sinyal, ini merupakan tantangan kita sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment