“By going to work, we’re killing
ourselves, literally!” –dengan bekerja, kita membunuh diri kita sendiri, dalam artian sebenarnya!
(Simon Sinek)
(Simon Sinek)
Judul di atas terbaca cukup
provokatif bagi otak kita, bukan? Benarkah itu terjadi? Bagaimana bisa? Adalah Simon Sinek, seorang inspirator sukses berusia
41 tahun, yang merupakan penulis buku Start
With Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action (2009) dan Leaders Eat Last: Why Some Teams Pull
Together and Others Don’t (2014), yang sering mengungkapkan hal tersebut. Orang
yang dianggap sebagai penemu konsep Diagram “Lingkaran Emas” Motivasi Manusia tersebut,
hampir dalam setiap presentasinya mengungkapkan bahwa penelitian membuktikan
bahwa dari orang tua pekerja yang biasa bekerja hingga larut malam, dampak
negatif yang ditimbulkan terhadap anak-anak mereka hampir tidak ada sama
sekali. Akan tetapi, atas orang tua yang melakoni sebuah pekerjaan yang tidak
dicintainya, anak-anak mereka cenderung menjadi anak-anak yang nakal di
sekolah. Masalah tidak terletak pada sekolah mereka, masalah juga tidak
terletak pada cara orang tua mengasuh anak-anaknya, namun masalah sesungguhnya
terletak pada pekerjaan yang dimiliki orang tua dari anak-anak itu. Itu baru satu
contoh dampak buruk pekerjaan kita terhadap anak-anak kita, belum lagi dampak
bagi diri kita sendiri.
BOSS YANG PAYAH MENGACUHKAN RASA
AMAN
Jika kita pikirkan dan uraikan
lebih dalam, akar dari penderitaan kita di tempat kerja bukanlah saklek pekerjaan
kita semata. Masalah-masalah yang terjadi di tempat kerja sesungguhnya merupakan
tanggung jawab orang yang dipercaya sebagai atasan kita, orang yang kita
panggil sebagai “Boss”. Atasan yang baik akan membuat kita menaruh hormat
kepadanya, bahkan terhadap seorang atasan yang baik kita takkan segan-segan untuk
mengucurkan sedikit keringat demi melakukan sesuatu untuk dirinya. Kita merasa
hormat dan sayang terhadap dirinya karena pengakuan tulus kita terhadap kualitas-kualitas
positif serta kelebihan-kelebihan yang dimiliki olehnya. Mengapa demikian?
Sebab di dalam lubuk hati yang terdalam kita percaya bahwa jika sesuatu yang
buruk terjadi atas kita, orang yang kita hargai sebagai boss itu akan
mengerahkan segala kelebihannya demi melindungi kita. Rasa percaya bahwa boss
akan melindungi inilah yang menjadi dasar kita untuk selalu merasa aman ketika
berada di bawah kepemimpinannya. Bukankah kita semua memahami salah satu ciri
boss yang buruk adalah bahwa ketidakberadaannya di tempat tidak memberi
pengaruh buruk apapun terhadap kita, bahkan ketidakberadaannya membuat kita
bergembira-ria?
Lalu mengapa tidak semua atasan
menciptakan rasa aman seperti ini? Sebab hal ini tidaklah gratis, selalu ada
pengorbanan untuk menciptakannya. Pengorbanan ini mungkin berupa waktu untuk
berinteraksi, tenaga untuk membantu bawahan atau peer, atau bahkan uang untuk
membiayai sebuah kebersamaan yang sebenarnya bukan faktor yang tertinggi
nilainya bagi pembentukan kepercayaan namun justru paling dikhawatirkan penurunan
jumlahnya oleh boss-boss yang payah seperti ini. Boss yang baik akan bersedia untuk
berkorban agar orang-orang di bawah kepemimpinannya dapat memperoleh manfaat
sebesar-besarnya. Sebaliknya, boss yang buruk akan tega mengorbankan
orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya demi memperoleh manfaat untuk
dirinya sendiri.
Dalam kehidupan profesional, atasan
kita senantiasa menuntut agar kita menjaga kesetiaan maupun penilaian pelanggan,
menjadikan mereka pusat perhatian kita, akan tetapi terlepas dari tuntutan
tersebut, tak jarang kita mendapati kenyataan pahit bahwa orang yang memerintah
kita, atasan kita, tidak memberikan perhatian mereka kepada kita. Dalam hal
seperti ini, organisasi atau institusi kita dikatakan telah kehilangan, meminjam
istilah Simon Sinek, “the circle of
safety” (lingkaran rasa aman). Kita kehilangan rasa aman dalam melaksanakan
tugas-tugas kita, kita tidak merasakan adanya sejawat yang akan mendukung dan
selalu siaga untuk mem-backup dan melindungi diri kita. Jika hal tersebut
terjadi, kita akan bekerja sendiri-sendiri untuk mengejar target IKU (Indeks
Kinerja Utama) organisasi, misalnya, atau target produksi pabrik, target penjualan
perusahaan, atau target-target lainnya, dan kita tidak lagi memiliki perhatian
terhadap apa yang dilakukan oleh masing-masing individu dalam tim, kita tidak
lagi membatu satu sama lain, padahal saling membantu merupakan bagian terpenting
dalam kehidupan profesional. Ketika hal ini tidak terjadi maka dampak bagi kita
adalah bahwa kita tidak lagi mendapatkan manfaat dari tugas-tugas yang kita
lakukan. Ketika kita diharuskan untuk fokus kepada uraian tugas masing-masing maka
kita pun secara tidak sadar akan terjauhkan satu sama lain, dampaknya adalah bahwa
kita akan mengalami kesendirian, merasakan kesepian batin. Hal ini pada
gilirannya menjadi tekanan untuk kita yang bekerja karena bertentangan dengan kodrat
kita sebagai makhluk sosial.
KORTISOL, SI PENIKAM DALAM LIPATAN
Jika ada agen pembunuh yang mampu
membunuh kita karena pekerjaan, ia tak lain adalah cortisol. Hormon yang ngeri-ngeri sedap ini adalah hormon yang
terbentuk secara melimpah ketika kita merasa tertekan atau merasa cemas. Hormon
ini adalah alarm yang menjaga kita tetap hidup, juga menjalankan fungsi-fungsi
metabolisme penting lainnya di dalam tubuh. Namun, dalam jumlah yang berlebihan
ia juga membuat kita merasa tidak karuan, galau, gila! Karena karakteristiknya
yang demikian maka hormon ini tidak seharusnya terus berdiam secara melimpah di
dalam sistem tubuh kita, seharusnya ia timbul bak air bah seketika diperlukan
dan lekas surut kembali (fight-and-flight
mechanism). Sayangnya, kehidupan profesional dewasa ini
menghalangi hormon kortisol untuk datang dan pergi dengan mekanisme seperti itu.
Ketika kita bekerja tanpa lingkaran keamanan sebagaimana disinggung di atas
maka kita akan merasa galau dari hari ke hari, mengalami tekanan batin setiap
saat, selalu tegang, dan akhirnya gila! Bisa dibayangkan ketika kita pulang ke
rumah dalam keadaan masih tertekan seperti ini? Rumah dan seisinya bisa jadi
akan menjadi sasaran empuk dari tekanan yang terus menumpuk di punggung dan
kepala kita. Rumah pun menjadi seperti neraka, tidak lagi menjadi yang seharusnya;
syurga yang menyejukkan kita. Anak-anak pun menjadi korbannya.
Doktor
Shawn Talbott
dalam bukunya The Cortisol Connection
(2002) mengemukaan beberapa kondisi negatif yang dapat terjadi ketika tubuh seseorang
memproduksi kortisol secara berlebihan dalam jangka panjang. Ia mengungkapkan
bahwa berbagai penelitian ilmiah dan bukti-bukti medis memperlihatkan dengan
jelas bahwa tingkat kortisol yang tinggi dalam tubuh secara berkesinambungan
akan memicu stress kronis yang sulit reda, serta menciptakan efek yang
melemahkan kesehatan dalam jangka panjang. Efek yang melemahkan ini dapat kita
anggap sebagai anti-imun atau penurun kekebalan tubuh, bukan? Ia juga
menambahkan bahwa di antara sekian banyak pengaruh negatif kortisol berlebih
ini adalah meningkatnya selera makan dan hasrat untuk melahap jenis makanan-makanan
tertentu. Mengingat salah satu peran utama kortisol adalah mendorong tubuh
untuk mengisi kembali bahan bakarnya setelah menghalau hadirnya
penyebab stress, tingkat kortisol yang telah tinggi membuat nafsu makan kita terdongkrak
—makanya kita merasa lapar terus-menerus.
Selain
itu, jenis lemak yang terakumulasi sebagai akibat nafsu makan tinggi karena
ditunggangi stress biasanya akan menempati daerah perut, mungkin supaya mudah
tersedia ketika diperlukan untuk merespon stress berikutnya. Masalah terbesar
dengan lemak perut ini, terlepas dari fakta bahwa tidak ada orang yang suka
berperut buncit, adalah jenis lemak ini sangat erat kaitannya dengan
pertumbuhan sakit jantung, penyakit kencing manis, serta kanker. Kalau tempat
kerja kita sudah kondusif untuk menciptakan risiko penyakit seperti ini,
masih haruskah kita pertahankan? Jika Anda tak mampu mencintai tempat kerja Anda
yang penuh tekanan, masih adakah alasan bagi Anda untuk bertahan?
Tinggalkanlah, atau Anda akan mati karenanya baik secara cepat, maupun
pelan-pelan!
[Jika
masih ada waktu, pada kesempatan mendatang in syaa Allah penulis akan mengungkapkan
langkah-langkah untuk mengatasi kortisol ini, juga membahas kawan-kawannya yang
lain masih dalam konteks leadership]
* http://contextualfeed.com illustrates
1 comment:
Mari, Syeikh.... kita budayakan ngopi untuk generasi dan dunia yang lebih baik... :-)
Post a Comment