Saya tergelitik untuk menguji keberhakan itu dalam sebuah pertemuan kemarin. Sebuah pertemuan para penghuni ruang birokrasi, para pegawai negeri, tempat paling cocok untuk menguji wawasan kebangsaan warga negara. Saya yakin akan "menang" dalam pengertian dapat membuktikan hipotesis bahwa sebagian besar orang hanya pandai berbicara tanpa dasar yang kuat, atau memang hanya suka berdebat, atau bahkan menyukai perselisihan. Pada prinsipnya, sebagian besar orang memiliki dorongan yang kuat untuk diakui kepandaiannya, atau ingin disebut cerdas. Pertanyaan pertama saya mudah saja, "apa visi Indonesia saat ini?". Terlepas dari derasnya perdebatan tiap hari tentang pemerintahan dan kebijakan pemerintah, hari itu, dalam ruang pertemuan itu tak ada satu orang pun yang mampu menjawab. Bahkan dengan iming-iming bingkisan coklat batangan kecil yang saya siapkan sebelumnya, tak seorang pun berani mengangkat jari untu menjawab.
Itulah gambaran kecil kita, bangsa Indonesia hari ini. Bagaimana mungkin kita berpendapat tentang pemerintahan ini, ngotot mempertahankan pendapat pribadi kita, ketika kita sendiri tidak menyadari apa gerangan yang ingin kita capai dalam beberapa waktu ke depan. Artinya, kebanyakan kita memang asal ngomong, asal ngotot, asal terlihat pintar, ketika kita mempermasalahkan sesuatu yang arahnya pun kita tak tahu. Mengapa saya pertanyakan visi kita? Karena setiap proses membutuhkan arah, begitu pun proses bernegara. Burt Nanus pernah menyatakan visi dalam kaitannya dengan organisasi dalam Visionary Leadership : Creating a Compelling Sense of Direction for Your Organization sebagai "a signpost pointing the way for all who need to understand what the organization is and where it intends to go" (Nanus, 1992). Visi ibarat (dan memang) adalah penunjuk arah, yang mencerahkan semua orang tentang posisi kita dan arah yang akan dituju selanjutnya.Bagaimana mungkin kita melakukan perdebatan yang panjang tentang sebuah (proses) perjalanan ketika kita buta akan posisi kita dan arah yang hendak kita tuju?
Hari itu dengan lancar saya ungkapkan visi Indonesia di depan audiens, visi negara yang kita cintai ini dengan berbagai hiasan penjelasan, definisi, pilar-pilar bernegara, dan seterusnya. Mungkin lebih cocok hal seperti itu saya bawakan di depan anggota kursus LEMHANAS, mengingatkan kita pada Penataran P4 yang pernah ada beberapa dasawarsa lalu. Saya ingin audiens hari itu menyadari bahwa ngomong memang gampang, tapi ngomong yang bener yang bisa dipertanggungjawabkan itu susah. Berkata-kata memang mudah, tetapi mampukah kita menepati ucapan-ucapan kita, bisakah kita meletakkan dasar yang kokoh untuk setiap perkataan kita? Pada akhirnya kita juga harus bertanya pada diri kita apakah perkataan-perkataan yang kita keluarkan bermanfaat untuk orang lain? Hari itu saya juga bermaksud menanamkan nilai patriotisme dalam diri mereka, seberapa pun kecilnya. Saya ingin meyakinkan mereka bahwa apa pun perasaan kita tentang bangsa dan negara ini, kita harus tetap membela dan memperjuangkan nasibnya. Ya, hari itu saya memang menang, bukan hal yang mengherankan, meskipun juga prihatin atas pemahaman bangsa tercinta ini atas negerinya.
........
Saat saya menulis artikel ini, sebuah panggilan rapat mendesak saya terima. Saya menuju ke ruang yang dimaksud selekas mungkin. Hal "bangsa Indonesia hari ini" pun kembali terjadi ketika kami membahas sebuah topik mengenai penggajian yang disebut-sebut bermasalah di sebuah kantor. Selama sekitar 5 tahun terakhir saya mengikuti berbagai perkembangan hal-ikhwal gaji ini, terlibat di dalamnya, hampir jungkir-balik menopang kehendak peraturan lama yang kemudian diperbaharui pada tahun-tahun terakhir. Ketika saya menjelaskan analisis saya sebagai praktisi, suara ngotot dari sebelah saya terdengar. Secara pribadi saya ingin menonjok sumber suara itu, bukan sekadar karena selama 5 tahun terakhir saya mengikuti perkembangan hal-ikhwal ini, tetapi juga karena saat ini saya merupakan person in charge untuk urusan gaji-menggaji dengan berbagai kendala aplikasi dan prosedurnya. Sedangkan yang mencoba berpolemik dengan saya setidaknya (kalaupun pernah duduk sebagai PIC) sudah 3 tahun terakhir tidak mengikuti perkembangan itu. Duh, beginilah bangsa kita hari ini; menyukai polemik, menggemari perdebatan, dan suka berkonfrontasi. Kalau kita tak mampu berubah, kapan kita bisa menjadi bangsa yang unggul??? Indeed, talk is cheap...!!! Hopefully, it's not of me.
No comments:
Post a Comment