Wednesday, March 1, 2023

Satria dan Teknologi Pengantar Sinyal Ekstraterestrial

Apa kabar Satria? Ini bukan tentang Satria FU One Million limited edition, motor kesayangan yang lagi istirahat beberapa purnama terakhir di rumah. Ini tentang satelit milik Republik kita tercinta yang beberapa waktu silam santer diberitakan dan rencananya akan diposisikan di orbit pada paruh kedua tahun 2023 ini. Satria, merupakan akronim dari Satelit Multifungsi Republik Indonesia. Sebagian media menyebut sebagai Satelit Republik Indonesia atau Satelit Indonesia Raya. Satelit ini cukup dielu-elukan karena akan menjadi wahana pengantar sinyal komunikasi berkualitas tinggi.

Informasi yang tersedia menyebutkan bahwa pengembangan satelit Satria oleh Pemerintah melalui Kementerian Kominfo ini dilaksanakan menggunakan skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha). Konsorsium Pasifik Satelit Nusantara (PSN) yang terdiri dari PT Pintar Nusantara Sejahtera, PT Pasifik Satelit Nusantara, PT Dian Semesta Sentosa, dan PT Nusantara Satelit Sejahtera merupakan pemenang tender pengembangan satelit ini, dan konstruksinya dilakukan oleh pabrikan asal Prancis bernama Thales Alenia Space dengan perkiraan biaya sekitar US$545 juta.

Selaku pribadi, penulis berharap bahwa peningkatan teknologi apapun yang dikemas ke dalam satelit ini, akan membawa efisiensi baik bagi Pemerintah, para pemangku kepentingan, maupun para pengguna layanan yaitu masyarakat luas. Biaya penggunaan teknologi khususnya jaringan nirkabel di tanah air masih terasa mahal. Sebagai pengguna jasa telekomunikasi nirkabel, grafik biaya yang dikeluarkan menunjukkan peningkatan pada beberapa tahun terakhir. Jika tren ini tidak berubah maka peningkatan biaya ini bisa jadi akan mengembalikan biaya penggunaan jasa telekomunikasi ke titik awal.

Bagi Indonesia, akhir milenium kedua merupakan titik awal pertumbuhan teknologi nirkabel dengan kepemilikan handset yang mulai meluas di seluruh tanah air. Ponsel menggantikan teknologi populer sebelumnya yaitu penyeranta (pager) yang mungkin merupakan teknologi dengan umur terpendek di Indonesia. Tahun 1999 – 2001 booming penjualan telefon seluler menyebar ke seluruh tanah air. Meskipun penulis sudah memanfaatkan fasilitas ponsel Ericsson di pertengahan 1990-an dengan kartu SIM seukuran kartu kredit dan penggunaan ponsel Nokia generasi awal dengan kartu seukuran jempol, namun penulis baru membeli ponsel pertama dengan penghasilan pribadi pada 2001 (di Kalimantan Timur) dengan pilihan merk yang jatuh ke Siemens seharga Rp1,5 juta dan kartu SIM (perdana) seharga Rp750 ribu. Ponsel monofonik ini baru mampu melaksanakan fungsi telefoni, SMS (Short Message Service), dan MMS (Multimedia Message Service). Dengan kemampuan tersebut, biaya langganan (pulsa) bulanan rata-rata yang harus dibayar ke operator seluler adalah sebesar Rp600 ribu. Jadi cukup mahal, bukan?

Tahun berikutnya penulis beralih ke ponsel pintar dari pabrikan yang sama dengan kemampuan mengakses internet melalui teknologi GPRS (General Packet Radio Service). Dengan ponsel ini selancar jejaring mulai dapat dilakukan termasuk dengan pemanfaatan ponsel ini sebagai modem khususnya untuk laptop. Bagaimana dengan biaya yang dikeluarkan? Kurang lebih sama dengan penggunaan jaringan kabel (cable modem) untuk internet, mencapai jutaan rupiah untuk satu bulan. Dapat dikatakan masih sangat mahal, atau terasa sama dengan pengenaan biaya untuk percakapan jarak jauh. Penggunaan fiber optik pada periode berikutnya relatif memangkas biaya, dan operator mulai lebih kreatif dalam memasarkan jasa.

Ada kecenderungan peningkatan biaya layanan dengan adanya peningkatan teknologi pengiriman sinyal atau, jika keadaan sesungguhnya memang tidak demikian, meningkatkan nilai pengeluaran para pengguna layanan. Contohnya adalah peralihan dari teknologi pengiriman sinyal generasi pertama ke generasi 2 di atas, atau peralihan berikutnya dari 2G ke 3G. Bisa jadi dengan peningkatan teknologi maka pengguna layanan merasa lebih nyaman berselancar sehingga menghabiskan lebih banyak waktu dan akhirnya berdampak ke biaya. Kendatipun demikian, kita dapat melihat bahwa setelah layanan internet dijual dengan kemasan paket data, harga paket internet terus meningkat dari masa ke masa. Sama halnya dengan harga komoditas lainnya, harga paket internet juga mengikuti laju inflasi. Bisakah harga penggunaan jasa ini diturunkan dengan peningkatan teknologi pengiriman sinyal, ini merupakan tantangan kita sesungguhnya.


No comments:

Putri, Berkah Untuk Semua

Belum reda euforia atas kemenangan Tim Nasional Sepakbola kita di ajang SEA Games XXXII Cambodia, kini bangsa Indonesia kembali dibuat bangg...